Dalam bukunya yang berjudul The Next Convergence, penerima hadiah Nobel
ekonomi Michael Spence mengatakan, dunia tengah memasuki Abad Ke tiga
dari Revolusi Industri. dan sejak tahun 1950, rata-rata pendapatan
penduduk dunia telah meningkat dua puluh kali lipat. Maka kendati
penduduk miskin masih banyak, adalah hal yang biasa kalau kita menemukan
perempuan miskin-lulusan SD dari sebuah dusun di Madura bolak-balik
Surabaya-Hongkong.
Tetapi kita juga biasa menemukan mahasiswa yang hanya sibuk demo dan tak
pernah keluar negeri sekalipun. Jangankan ke luar negeri, tahu harga
tiket pesawat saja tidak, apalagi memiliki pasport.Maka bagi saya, penting bagi
para pendidik untuk membawa anak-anak didiknya melihat dunia. Berbekal lima
ratus ribu rupiah, anak-anak SD dari Pontianak dapat diajak menumpang bis
melewati perbatasan Entekong memasuki Kuching. Dalam jarak tempuh
sembilan jam mereka sudah mendapatkan pelajaran PPKN yang sangat penting, yaitu
pupusnya kebangsaan karena kita kurang urus daerah perbatasan. Rumah-rumah
kumuh, jalan berlubang, pedagang kecil yang tak diurus Pemda, dan infrastruktur
yang buruk ada di bagian sini. Sedangkan hal sebaliknya ada di sisi
seberang. Anak-anak yang melihat dunia akan terbuka matanya dan memakai nuraninya
saat memimpin bangsa di masa depan. Di universitas Indonesia, setiap mahasiswa
saya diwajibkan memiliki pasport dan melihat minimal satu negara.
Dulu saya sendiri yang menjadi gembala sekaligus guide nya. Kami
menembus Chiangmay dan menyaksikan penduduk miskin di Thailand dan Vietnam
bertarung melawan arus globalisasi. Namun belakangan saya berubah
pikiran, kalau diantar oleh dosennya, kapan memiliki keberanian dan inisiatif ?
Maka perjalanan penuh pertanyaan pun mereka jalani. Saat anak-anak Indonesia
ketakutan tak bisa berbahasa Inggris, anak-anak Korea dan Jepang yang huruf
tulisannya jauh lebih rumit dan pronounciation-nya sulit dimengerti menjelajahi
dunia tanpa rasa takut. Uniknya, anak-anak didik saya yang sudah punya pasport
itu 99% akhirnya dapat pergi keluar negeri. Sekali lagi, jangan tanya
darimana uangnya. Mereka memutar otak untuk mendapatkan tiket, menabung,
mencari losmen-losmen murah, menghubungi sponsor dan mengedarkan kotak
sumbangan. Tentu saja, kalau kurang sedikit ya ditomboki dosennya
sendiri.
Namun harap dimaklumi, anak-anak didik saya yang wajahnya ndeso sekalipun
kini dipasportnya tertera satu dua cap imigrasi luar negeri. Apakah mereka
anak-anak orang kaya yang orangtuanya mampu membelikan mereka tiket? Tentu
tidak. Di UI, sebagian mahasiswa kami adalah anak PNS, bahkan tidak
jarang mereka anak petani dan nelayan. Tetapi mereka tak mau kalah dengan
TKW yang meski tak sepandai mereka, kini sudah pandai berbahasa asing.
Anak-anak yang ditugaskan ke luar negeri secara mandiri ternyata memiliki
daya inovasi dan inisiatif yang tumbuh. Rasa percaya diri mereka bangkit.
Sekembalinya dari luar negeri mereka membawa segudang pengalaman, cerita,
gambar dan foto yang ternyata sangat membentuk visi mereka.
Saya pikir ada baiknya para guru mulai membiasakan anak didiknya memiliki
pasport. Pasport adalah tiket untuk melihat dunia, dan berawal dari
pasport pulalah seorang santri dari Jawa Timur menjadi pengusaha di luar
negeri. Di Italy saya bertemu Dewi Francesca, perempuan asal Bali yang
memiliki kafe yang indah di Rocca di Papa. Dan karena pasport pulalah, Yohannes
Surya mendapat bea siswa di Amerika Serikat. Ayo, jangan kalah dengan
Gayus Tambunan atau Nazaruddin yang baru punya pasport dari uang negara.
Rhenald Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia
http://rumahperubahan.com/index.php?option=com_content&task=view&id=95&Itemid=57
Tidak ada komentar:
Posting Komentar